Minggu, 29 April 2012

Al-Qur'an dan Sunnah Rasul adalah sumber pokok hukum islam yang disepakati oleh umat islam

Standard
1. Jelaskan fungsi dan tujuan diturunkannya Al-Qur'an serta garis besar isi Al-Qur,an
Fungsi Diturunkannya al-Qur'an
Sesungguhnya merupakan nikmat Allah yang terbesar adalah diutusnya Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam dan diturunkan nya al-Qur'an kepadanya untuk memberi petunjuk kepada manusia, mengajari dan mengingatkan mereka tentang segala yang bermanfaat bagi mereka di dunia dan di akhirat. Atas dasar inilah Allah memuliakan ummat ini.

Al-Qur'an adalah kalam (firman) Allah Ta'ala, baik huruf maupun maknanya, dia bukan makhluk. Dari Allah al-Qur'an berasal dan kepada-Nya dia akan kembali. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, artinya,
،§Dan sesungguhnya al-Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Rabb semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.،¨ (QS. Asy Syu'araa:195)

Al-Qur'an merupakan kitab yang universal untuk seluruh manusia, bahkan untuk bangsa jin, untuk memberikan kabar gembira dan peringatan kepada mereka. (periksa QS. al-Jin:2)
Al-Qur،¦an diturunkan kepada manusia dengan memiliki fungsi yang amat banyak. Di antara fungsi diturunkannya al-Qur'an adalah sebagai berikut:


Sebagai Petunjuk (Huda)

Allah Ta'ala telah berfirman,artinya,
،§Alif laam miim. Kitab (al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.،¨ (QS. al- Baqarah:1-2)

Dan di pertengahan surat al- Baqarah Allah juga berfirman,
،§(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).،¨ (QS.al- Baqarah:185)

Di awal surat al-Baqarah tersebut Allah Ta'alamenyebut al-Qur'an sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa sedangkan di pertengahannya disebutkan sebagai petunjuk bagi manusia, dan ini sifatnya umum baik bagi yang bertakwa maupun yang tidak bertakwa.
Adapun petunjuk bagi orang bertakwa, mempunyai arti bahwa mereka mampu mengambil manfaat dan mengambil faidah dari al-Qur'an itu, serta mereka mampu manjadikan cahaya al-Qur'an sebagai penerang bagi mereka.
Sedangkan petunjuk bagi manusia, artinya al-Qur'an memberi penjelasan bagi mereka mana jalan yang lurus terbimbing, jika mereka menghendaki jalan lurus tersebut bagi diri mereka.

Jadi al-Qur'an merupakan petunjuk dilalah dan irsyad (penjelasan dan bimbingan) bagi seluruh manusia, dan petunjuk taufiq bagi orang yang bertakwa, khususnya mereka yang memenuhi panggilan al-Qur'an.
Jadi hidayah itu ada dua macam, yaitu hidayah taufiq wa 'amal (respon dan aksi). Ini khusus bagi orang yang beriman, dan hidayah dilalah wa irsyad (bimbingan dan penjelasan) yang bersifat informatif untuk seluruh umat manusia. Allah Ta'alajuga berfirman menyifati al Qur'an,artinya,
،§Sesungguhnya al-Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar, dan sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada hari akhirat, Kami sediakan bagi mereka azab yang pedih.،¨ (QS. Al Israa':9-10)

Allah Ta'ala menyebutkan al-Qur'an sebagai petunjuk yang paling lurus (aqwam), yaitu kepada jalan yang paling lurus dan adil yang mengantarkan kepada Allah Ta'ala. Jika anda menghendaki untuk sampai kepada Allah Azza wa Jalla dan surga Nya maka anda harus beramal dengan al-Qur'anul Karim.

Al Qur'an sebagai Ruh.

Di dalam ayat yang lain Allah menyebut al-Qur'an dengan ruh, dan salah satu makna ruh di sini adalah segala yang menjadikan hati hidup penuh dengan makna. Sebagaimana halnnya tubuh, jika di dalamnya ada ruh maka dia akan hidup dan jika ruh keluar dari badan maka dia akan mati. Allah ƒnberfirman, artinya,
،§Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh (wahyu/al-Qur'an) dengan perintah Kami.Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (al-Qur'an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Qur'an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.،¨ (QS. Asy Syura:52)

Al-Qur'an adalah ruh bagi hati, dan ruh hati lebih khusus daripada ruh badan. Allah menamainya dengan ruh karena dengan al-Qur'an itu hati menjadi hidup. Maka apabila al-Qur'an telah bertemu dengan hati pasti dia akan hidup dan bercahaya. Dia akan mengenal Rabbnya, menyembah Allah di atas dasar bashirah (ilmu), takut kepada-Nya, bertakwa , mencintai-Nya, meninggikan serta mengagungkan-Nya. Ini dikarenakan al-Qur'an merupakan ruh yang menggerakkkan hati sebagaimana ruh (nyawa) yang menggerakkan badan.
Jika nyawa masuk ke dalam badan maka dia akan menggerakkan badan itu serta menjadikannya hidup.Demikian pula al-Qur'an, jika masuk ke dalam hati maka akan menghidupkan serta menggerakkan hati untuk takut kepada Allah serta mencintai-Nya. Sebaliknya jika hati tidak dimasuki al-Qur'an maka akan mati, sebagaimana badan yang tidak punya ruh.

Maka di sini ada dua kehidupan dan dua kematian. Dua kematian adalah matinya jasmani dan matinya hati sedang dua kehiduan adalah hidupnya jasmani dan hidupnya hati. Hidupnya badan berlaku bagi mukmin dan kafir, orang takwa dan orang fasik, bahkan seluruh manusia dan hewan tidak ada bedanya. Yang membedakan adalah hidupnya hati, dan ini tidak didapati kecuali pada hamba Allah yang mukmin dan muttaqin. Adapun orang kafir dan binatang ternak maka mereka kehilangan hidupnya hati, meskipun badan dan jasmani mereka hidup.

Al Qur'an sebagai Cahaya

Allah menamai al-Qur'an dengan Nur (cahaya), yaitu sesuatu yang menerangai jalan yang terbentang di hadapan manusia sehingga tampak segala yang ada di hadapannya. Apakah ada lobang, ataukah duri lalu menghindarinya, dan kelihatan pula jalan yang selamat sehingga dia manempuh jalan itu.

Orang yang tidak mempunyai cahaya maka dia berada di dalam kegelapan, tidak bisa melihat lobang serta duri, tidak mengetahui adanya bahaya karena memang tidak mampu untuk melihat.
Kita semua tahu adanya cahaya yang mampu kita lihat, seperti cahaya matahari, lampu,lentera dan cahaya yang lain. Dengan adanya cahaya inilah kita tahu bagaimana sebaiknya berjalan di jalanan, di pasar, di rumah dan kita tahu dengan cahaya itu apa yang perlu untuk kita jauhi dan waspadai.

Akan tetapi cahaya al Qur'an adalah cahaya maknawi yang memperlihatkan kepada anda apa yang bermanfaat bagi anda dalam urusan agama maupun dunia, menjelaskan kepada anda yang hak dan yang batil, menunjukkan jalan menuju surga sehingga anda menempuhnya berdasarkan cahaya dan bimbingan Allah Subhannahu wa Ta'ala .
Al-Qur'an adalah nur maknawi yang dengannya anda dapat membedakan jalan yang terang dari jalan yang gelap, membedakan jalan surga dari jalan neraka. Dengannya engkau akan tahu mana yang bermanfaat dan mana yang berbahaya, engkau tahu kebaikan dan keburukan. Maka al-Qur'an adalah cahaya semesta alam untuk menuju jalan kesuksesan, kebahagiaan dan kemenangan di dunia dan di akhirat.

Al Qur'an sebagai Pembeda

Allah Ta'ala juga menyifati al Qur'an sebagai Furqaan (pembeda) sebagai mana firman-Nya, artinya,
،§Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (yaitu al-Qur'an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.،¨ (QS. Al Furqaan:1)

Artinya al-Qur'an membedakan antara yang haq dengan yang batil, antara yang lurus dengan yang sesat, yang bermanfaaat dan yang berbahaya. Dia menyuruh kita semua mengerjakan kebaikan dan melarang kita dari perbuatan buruk dan dia memperlihat kan segala apa yang kita perlukan untuk urusan dunia dan akhirat, maka dia adalah furqan dalam arti membedakan antara yang hak dengan yang batil.

Al Qur'an sebagai Obat Penawar

Allah Subhannahu wa Ta'alaƒn juga menyebut al-Qur'an ini sebagai syifa'(obat penawar), Dia berfirman, artinya,
،§Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.،¨ (QS. Yunus:57)
Dia merupakan obat bagi penyakit yang bersifat hakiki (yang menimpa badan) dan penyakit yang sifatnya maknawi (yang menimpa hati). Merupakan obat bagi penyakit badan, dengan cara membacakannya untuk orang yang sakit atau terkena ain (hipnotis), kesurupan jin dan semisalnya.

Dengan izin Allah Subhannahu wa Ta'ala orang yang sakit akan menjadi sembuh jika bacaan tersebut berasal dari hati seorang mukmin yang yakin kepada-Nya. Apabila keyakinan yang kuat berkumpul antara orang yang membacakannya dengan yang di bacakan untuknya maka Allah akan memberikan kesembuhan bagi si sakit.

Al-Qur'an juga merupakan obat bagi penyakit maknawi, seperti penyakit ragu-ragu (syak), syubhat (kerancuan), kufur dan nifak. Penyakit-penyakit ini jauh lebih berbahaya daripada penyakit badan.
Penyakit hati lebih berbahaya daripada penyakit badan karena penyakit badan ujung penghabisannya adalah mati sedangkan mati itu pasti terjadi dan tidak mungkin dapat ditolak. Penyakit hati jika dibiarkan terus menerus maka akan menyebabkan matinya hati , rusak secara total sehingga si empunya hati menjadi seorang kafir, condong kepada kaburukan , fasik. Dan tidak ada obat baginya selain daripada al-Qur'an yang telah diturunkan oleh Allah sebagai obat.

Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, artinya,
،§Dan Kami turunkan dari al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.،¨ (QS. Al Israa':82)
Allah Subhannahu wa Ta'ala menjadikan al-Qur'an sebagai obat bagi orang mukmin dan mengkhususkan itu untuk mereka karena hanya orang mukmin saja yang mampu mengambil manfaat dan mengambil petunjuk dengan al-Qur'an itu sehingga hilang dari mereka segala was-was, keraguan dan syubhat dari dalam hati mereka.

Sedang orang-orang munafik dan orang-orang kafir serta pelaku kemusyrikan maka mereka tidak dapat mengambil faedah dari al Qur،¦an selagi mereka masih terus menerus berada di atas kemusyrikan, kemunafikan dan kekufuran mereka. Kecuali jika mau behenti dari semua itu dan bertobat kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala.

Semoga Allah Subhannahu wa Ta'ala menjadikan kita semua sebagai ahli al-Qur،¦an yang senantiasa membaca, memahami dan mengamalkan isinya. Amin ya Rabbal ،¥alamin.

Tujuan Al-Quran Diturunkan


Hikmah Diturunkannya Al-Quran
Wahai saudaraku, sesungguhnya Al-Quran diturunkan setidaknya dengan tigatujuan:
1. Beribadah kepada Allah dengan membacanya.
2. Dipelajari isi dan kandungannya.
3. Diamalkan.
Adapun yang pertama [beribadah kepada Allah dengan membacanya] dalinya adalah dua hadits Nabi shallallahu’alaihiwasallam.
Hadits pertama
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ الْحَنَفِيُّ حَدَّثَنَا الضَّحَّاكُ بْنُ عُثْمَانَ عَنْ أَيُّوبَ بْنِ مُوسَى قَال سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ كَعْبٍ الْقُرَظِيَّ قَال سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
وَيُرْوَى هَذَا الْحَدِيثُ مِنْ غَيْرِ هَذَا الْوَجْهِ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ وَرَوَاهُ أَبُو الْأَحْوَصِ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ رَفَعَهُ بَعْضُهُمْ وَوَقَفَهُ بَعْضُهُمْ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ سَمِعْت قُتَيْبَةَ يَقُولُ بَلَغَنِي أَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ كَعْبٍ الْقُرَظِيَّ وُلِدَ فِي حَيَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمُحَمَّدُ بْنُ كَعْبٍ يُكْنَى أَبَا حَمْزَةَ
(TIRMIDZI – 2835) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Al Hanafi telah menceritakan kepada kami Adl dlahhak bin Utsman dari Ayyub bin Musa ia berkata; Aku mendengar Muhammad bin Ka’ab Al Quradli berkata; Aku mendengar Abdullah bin Mas’ud berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa membaca satu huruf dari Kitabullah (Al Qur`an), maka baginya satu pahala kebaikan dan satu pahala kebaikan akan dilipat gandakan menjadi sepuluh kali, aku tidak mengatakan ALIF LAAM MIIM itu satu huruf, akan tetapi ALIF satu huruf, LAAM satu huruf dan MIIM satu huruf.” Selain jalur ini, hadits ini juga diriwayatkan dari beberapa jalur dari sahabat Ibnu Mas’ud. Abul Ahwas telah meriwayatkan hadits ini dari Ibnu Mas’ud, sebagian perawi merafa’kannya (menyambungkannya sampai kepada Nabi) dan sebaian yang lainnya mewaqafkannya dari sahabat Ibnu Mas’ud. Abu Isa berkata; Hadits ini hasan shahih gharib dari jalur ini, aku telah mendengar Qutaibah berkata; telah sampai berita kepadaku bahwa Muhammad bin Ka’ab Al Quradli dilahirkan pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, dan Muhammad bin Ka’ab di juluki dengan Abu Hamzah.
Sumber : Tirmidzi [sanadnya shahih]
Kitab : keutamaan Al Qur`an
Bab : Membaca satu huruf alquran dan ganjarannya
No. Hadist : 2835
Hadits kedua
حَدَّثَنِي الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْحُلْوَانِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو تَوْبَةَ وَهُوَ الرَّبِيعُ بْنُ نَافِعٍ حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ يَعْنِي ابْنَ سَلَّامٍ عَنْ زَيْدٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا سَلَّامٍ يَقُولُ حَدَّثَنِي أَبُو أُمَامَةَ الْبَاهِلِيُّ قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ اقْرَءُوا الزَّهْرَاوَيْنِ الْبَقَرَةَ وَسُورَةَ آلِ عِمْرَانَ فَإِنَّهُمَا تَأْتِيَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ أَوْ كَأَنَّهُمَا غَيَايَتَانِ أَوْ كَأَنَّهُمَا فِرْقَانِ مِنْ طَيْرٍ صَوَافَّ تُحَاجَّانِ عَنْ أَصْحَابِهِمَا اقْرَءُوا سُورَةَ الْبَقَرَةِ فَإِنَّ أَخْذَهَا بَرَكَةٌ وَتَرْكَهَا حَسْرَةٌ وَلَا تَسْتَطِيعُهَا الْبَطَلَةُ
قَالَ مُعَاوِيَةُ بَلَغَنِي أَنَّ الْبَطَلَةَ السَّحَرَةُ و حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الدَّارِمِيُّ أَخْبَرَنَا يَحْيَى يَعْنِي ابْنَ حَسَّانَ حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ غَيْرَ أَنَّهُ قَالَ وَكَأَنَّهُمَا فِي كِلَيْهِمَا وَلَمْ يَذْكُرْ قَوْلَ مُعَاوِيَةَ بَلَغَنِي
(MUSLIM – 1337) : Telah menceritakan kepadaku Al Hasan bin Ali Al Hulwani telah menceritakan kepada kami Abu Taubah ia adalah Ar Rabi’ bin Nafi’, telah menceritakan kepada kami Mu’awiyah yakni Ibnu Sallam, dari Zaid bahwa ia mendengar Abu Sallam berkata, telah menceritakan kepadaku Abu Umamah Al Bahili ia berkata; Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bacalah Al Qur`an, karena ia akan datang memberi syafa’at kepada para pembacanya pada hari kiamat nanti. Bacalah Zahrawain, yakni surat Al Baqarah dan Ali Imran, karena keduanya akan datang pada hari kiamat nanti, seperti dua tumpuk awan menaungi pembacanya, atau seperti dua kelompok burung yang sedang terbang dalam formasi hendak membela pembacanya. Bacalah Al Baqarah, karena dengan membacanya akan memperoleh barokah, dan dengan tidak membacanya akan menyebabkan penyesalan, dan pembacanya tidak dapat dikuasai (dikalahkan) oleh tukang-tukang sihir.” Mu’awiyah berkata; “Telah sampai (khabar) kepadaku bahwa, Al Bathalah adalah tukang-tukang sihir.” Dan telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Abdurrahman Ad Darimi telah mengabarkan kepada kami Yahya yakni Ibnu Hassan, Telah menceritakan kepada kami Mu’awiyah dengan isnad ini, hanya saja ia mentatakan; “Wa Ka`annahumaa fii Kilaihimaa.” dan ia tidak menyebutkan ungkapan Mu’awiyah, “Telah sampai (khabar) padaku.”
Sumber : Muslim
Kitab : Shalatnya musafir dan penjelasan tentang qashar
Bab : Keutamaan membaca Al-Qur’an dan surat al Baqarah
No. Hadist : 1337
Adapun yang kedua [dipelajari isi dan kandungannya] maka dalilnya adalah firman Allah:
Muhammad :24
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?
Terakhir, yang ketiga [diamalkan] maka dalilnya adalah hadits Nabi shallallahu’alaihiwasallam:
حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا حَبَّانُ بْنُ هِلَالٍ حَدَّثَنَا أَبَانُ حَدَّثَنَا يَحْيَى أَنَّ زَيْدًا حَدَّثَهُ أَنَّ أَبَا سَلَّامٍ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْعَرِيِّ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطُّهُورُ شَطْرُ الْإِيمَانِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَأُ الْمِيزَانَ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَآَنِ أَوْ تَمْلَأُ مَا بَيْنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالصَّلَاةُ نُورٌ وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَبَايِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوبِقُهَا
(MUSLIM – 328) : Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Manshur telah menceritakan kepada kami Habban bin Hilal telah menceritakan kepada kami Aban telah menceritakan kepada kami Yahya bahwa Zaid telah menceritakan kepadanya, bahwa Abu Sallam telah menceritakan kepadanya dari Abu Malik al-Asy’ari dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bersuci adalah setengah dari iman, alhamdulillah memenuhi timbangan, subhanallah dan alhamdulillah keduanya memenuhi, atau salah satunya memenuhi apa yang ada antara langit dan bumi, shalat adalah cahaya, sedekah adalah petunjuk, kesabaran adalah sinar, dan al-Qur’an adalah hujjah untuk amal kebaikanmu dan hujjah atas amal kejelekanmu. Setiap manusia adalah berusaha, maka ada orang yang menjual dirinya sehingga membebaskannya atau menghancurkannya.”

2. Uraikan fungsi As-Sunnah dalam kaitannya dengan Al-Qur'an.
Al-hadits oleh para ulama didefinisikan seperti definisi Al-Sunnah, yaitu "Segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Muhammad saw., baik ucapan, perbuatan dan taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabi maupun sesudahnya." Ulama ushul fiqh, membatasi pengertian hadis hanya pada "ucapan-ucapan Nabi Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum"; sedangkan bila mencakup pula perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum, makaketiga hal ini mereka namai Al-Sunnah. Pengertian hadis seperti yang dikemukakan oleh ulama ushul tersebut, dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari segi kewajiban menaatinya dengan ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari wahyu Al-Quran.
Sementara itu, ulama tafsir mengamati bahwa perintah taat kepada Allah dan Rasul-Nya yang ditemukan dalam Al-Quran dikemukakan dengan dua redaksi berbeda. Pertama adalah Athi'u Allah wa al-rasul, dan kedua adalah Athi'u Allah wa athi'u al-rasul. Perintah pertama mencakup kewajiban taat kepada beliau dalam hal-hal yang sejalan dengan perintah Allah SWT; karena itu, redaksi tersebut mencukupkan sekali saja penggunaan kata athi'u. Perintah kedua mencakup kewajiban taat kepada beliau walaupun dalam hal-hal yang tidak disebut secara eksplisit oleh Allah SWT dalam Al-Quran, bahkan kewajiban taat kepada Nabi tersebut mungkin harus dilakukan terlebih dahulu --dalam kondisi tertentu-- walaupun ketika sedang melaksanakan perintah Allah SWT, sebagaimana diisyaratkan oleh kasus Ubay ibn Ka'ab yang ketika sedang shalat dipanggil oleh Rasul saw. Itu sebabnya dalam redaksi kedua di atas, kata athi'u diulang dua kali, dan atas dasar ini pula perintah taat kepada Ulu Al-'Amr tidak dibarengi dengan kata athi'u karena ketaatan terhadap mereka tidak berdiri sendiri, tetapi bersyarat dengan sejalannya perintah mereka dengan ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya. (Perhatikan Firman Allah dalam QS 4:59). Menerima ketetapan Rasul saw. dengan penuh kesadaran dan kerelaan tanpa sedikit pun rasa enggan dan pembangkangan, baik pada saat ditetapkannya hukum maupun setelah itu, merupakan syarat keabsahan iman seseorang, demikian Allah bersumpah dalam Al-Quran Surah Al-Nisa' ayat 65.
Tetapi, di sisi lain, harus diakui bahwa terdapat perbedaan yang menonjol antara hadis dan Al-Quran dari segi redaksi dan cara penyampaian atau penerimaannya. Dari segi redaksi, diyakini bahwa wahyu Al-Quran disusun langsung oleh Allah SWT. Malaikat Jibril hanya sekadar menyampaikan kepada Nabi Muhammad saw., dan beliau pun langsung menyampaikannya kepada umat, dan demikian seterusnya generasi demi generasi.
Redaksi wahyu-wahyu Al-Quran itu, dapat dipastikan tidak mengalami perubahan, karena sejak diterimanya oleh Nabi, ia ditulis dan dihafal oleh sekian banyak sahabat dan kemudian disampaikan secara tawatur oleh sejumlah orang yang --menurut adat-- mustahil akan sepakat berbohong. Atas dasar ini, wahyu-wahyu Al-Quran menjadi qath'iy al-wurud. Ini, berbeda dengan hadis, yang pada umumnya disampaikan oleh orang per orang dan itu pun seringkali dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi saw. Di samping itu, diakui pula oleh ulama hadis bahwa walaupun pada masa sahabat sudah ada yang menulis teks-teks hadis, namun pada umumnya penyampaian atau penerimaan kebanyakan hadis-hadis yang ada sekarang hanya berdasarkan hafalan para sahabat dan tabi'in. Ini menjadikan kedudukan hadis dari segi otensititasnya adalah zhanniy al-wurud.
Walaupun demikian, itu tidak berarti terdapat keraguan terhadap keabsahan hadis karena sekian banyak faktor -- baik pada diri Nabi maupun sahabat beliau, di samping kondisi sosial masyarakat ketika itu, yang topang-menopang sehingga mengantarkan generasi berikut untuk merasa tenang dan yakin akan terpeliharanya hadis-hadis Nabi saw.
Fungsi Hadis terhadap Al-Quran
Al-Quran menekankan bahwa Rasul saw. berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS 16:44). Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk dan sifat serta fungsinya.
'Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah fi Makanatiha wa fi Tarikhiha menulis bahwa Sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Quran dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara'. Dengan menunjuk kepada pendapat Al-Syafi'i dalam Al-Risalah, 'Abdul Halim menegaskan bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Quran, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan ta'kid dan bayan tafsir. Yang pertama sekadar menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang terdapat di dalam Al-Quran, sedangkan yang kedua memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Quran.
Persoalan yang diperselisihkan adalah, apakah hadis atau Sunnah dapat berfungsi menetapkan hukum baru yang belum ditetapkan dalam Al-Quran? Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada 'ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika hendak menetapkan hukum.
Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah SWT. Ketika Rasul saw. melarang seorang suami memadu istrinya dengan bibi dari pihak ibu atau bapak sang istri, yang pada zhahir-nya berbeda dengan nash ayat Al-Nisa' ayat 24, maka pada hakikatnya penambahan tersebut adalah penjelasan dari apa yang dimaksud oleh Allah SWT dalam firman tersebut.
Tentu, jalan keluar ini tidak disepakati, bahkan persoalan akan semakin sulit jika Al-Quran yang bersifat qathi'iy al-wurud itu diperhadapkan dengan hadis yang berbeda atau bertentangan, sedangkan yang terakhir ini yang bersifat zhanniy al-wurud. Disini, pandangan para pakar sangat beragam. Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits, menyatakan bahwa "Para imam fiqih menetapkan hukum-hukum dengan ijtihad yang luas berdasarkan pada Al-Quran terlebih dahulu. Sehingga, apabila mereka menemukan dalam tumpukan riwayat (hadits) yang sejalan dengan Al-Quran, mereka menerimanya, tetapi kalau tidak sejalan, mereka menolaknya karena Al-Quran lebih utama untuk diikuti."
Pendapat di atas, tidak sepenuhnya diterapkan oleh ulama-ulama fiqih. Yang menerapkan secara utuh hanya Imam Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya. Menurut mereka, jangankan membatalkan kandungan satu ayat, mengecualikan sebagian kandungannya pun tidak dapat dilakukan oleh hadis. Pendapat yang demikian ketat tersebut, tidak disetujui oleh Imam Malik dan pengikut-pengikutnya. Mereka berpendapat bahwa al-hadits dapat saja diamalkan, walaupun tidak sejalan dengan Al-Quran, selama terdapat indikator yang menguatkan hadis tersebut, seperti adanya pengamalan penduduk Madinah yang sejalan dengan kandungan hadis dimaksud, atau adanya ijma' ulama menyangkut kandungannya. Karena itu, dalam pandangan mereka, hadis yang melarang memadu seorang wanita dengan bibinya, haram hukumnya, walaupun tidak sejalan dengan lahir teks ayat Al-Nisa' ayat 24.
Imam Syafi'i, yang mendapat gelar Nashir Al-Sunnah (Pembela Al-Sunnah), bukan saja menolak pandangan Abu Hanifah yang sangat ketat itu, tetapi juga pandangan Imam Malik yang lebih moderat. Menurutnya, Al-Sunnah, dalam berbagai ragamnya, boleh saja berbeda dengan Al-Quran, baik dalam bentuk pengecualian maupun penambahan terhadap kandungan Al-Quran. Bukankah Allah sendiri telah mewajibkan umat manusia untuk mengikuti perintah Nabi-Nya?
Harus digarisbawahi bahwa penolakan satu hadis yang sanadnya sahih, tidak dilakukan oleh ulama kecuali dengan sangat cermat dan setelah menganalisis dan membolak-balik segala seginya. Bila masih juga ditemukan pertentangan, maka tidak ada jalan kecuali mempertahankan wahyu yang diterima secara meyakinkan (Al-Quran) dan mengabaikan yang tidak meyakinkan (hadis).
3. Jelaskan kenapa ketika ajaran-ajaran yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasul dilaksanakan dalam kehidupan sosial terjadi perbedaan pemahaman dan pengamalannya
Dalam konteks pendapat dan pengamalan agama, Al-Quran secara tegas memerintahkan orang-orang Mukmin untuk merujuk Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnah). Tetapi seandainya terjadi perbedaan pemahaman Al-Quran dan Sunnah itu, baik mengakibatkan perbedaan pengamalan maupun tidak, maka petunjuk Al-Quran dalam hal ini adalah:
Apabila kamu berbeda pendapat tentang sesuatu (karena tidak menemukan petunjuknya dalam teks Al-Quran dan Sunnah), maka kembalikanlah kepada Allah (jiwa ajaran-ajaran Al-Quran), dan (jiwa ajaran-ajaran) Rasul, jika memang kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya (QS Al-Nisa' [4]: 59).
4. Jelaskan cara-cara yang bijak untuk menyikapi perbedaan tersebut sehingga perbedaan itu tidak menimbulkan konflik bahkan menjadi rahmat !

1. Membekali diri dan mendasari sikap sebaik-baiknya dengan ilmu, iman, amal dan akhlaq secara proporsional. Karena tanpa pemaduan itu semua, akan sangat sulit sekali bagi seseorang untuk bisa menyikapi setiap masalah dengan benar, tepat dan proporsional, apalagi jika itu masalah ikhtilaf atau khilafiyah.
2. Memfokuskan dan lebih memprioritaskan perhatian dan kepedulian terhadap masalah-masalah besar ummat, daripada perhatian terhadap masalah-masalah kecil seperti masalah-masalah khilafiyah misalnya. Karena tanpa sikap dasar seperti itu, biasanya seseorang akan cenderung ghuluw (berlebih-lebihan) dan tatharruf (ekstrem) dalam menyikapi setiap masalah khilafiyah yang ada.
3. Memahami ikhtilaf dengan benar, mengakui dan menerimanya sebagai bagian dari rahmat Allah bagi ummat. Dan ini adalah salah satu bagian dari ittibaa'us-salaf (mengikuti ulama salaf), karena memang begitulah sikap mereka, yang kemudian diikuti dan dilanjutkan oleh para ulama ahlus-sunnah wal-jama'ah sepanjang sejarah. Dan dalam konteks ini mungkin perlu diingatkan bahwa, nash (teks) ungkapan yang selama dikenal luas sebagai hadits, yakni yang berbunyi: Ikhtilafu ummati rahmatu(perselisihan ummatku adalah rahmat), bukanlah shahih sebagai hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Karenanya bukanlah "hadits" tersebut yang menjadi dasar sikap penerimaan ikhtilaf sebagai rahmat bagi ummat itu. Namun dasarnya adalah warisan sikap dari para ulama salaf dan khalaf yang hampir sepakat dalam masalah ini. Sampai-sampai ada ulama yang menulis kitab dengan judul: Rahmatul Ummah Fi-khtilafil Aimmah (Rahmat bagi Ummat dalam perbedaan pendapat para imam).
4. Memadukan dalam mewarisi ikhtilaf para ulama terdahulu dengan sekaligus mewarisi etika dan sikap mereka dalam ber-ikhtilaf. Sehingga dengan begitu kita bisa memiliki sikap yang tawazun (proporsional). Sementara selama ini sikap kebanyakan kaum muslimin dalam masalah-masalah khilafiyah, seringkali lebih dominan timpangnya. Karena biasanya mereka hanya mewarisi materi-materi khilafiyah para imam terdahulu, dan tidak sekaligus mewarisi cara, adab dan etika mereka dalam ber-ikhtilaf, serta dalam menyikapi para mukhalif (kelompok lain yang berbeda madzhab atau pendapat).
5. Mengikuti pendapat (ittiba') ulama dengan mengetahui dalilnya, atau memilih pendapat yang rajih (kuat) setelah mengkaji dan membandingkan berdasarkan metodologi (manhaj) ilmiah yang diakui. Tentu saja ini bagi yang mampu, baik dari kalangan para ulama maupun para thullaabul-'ilmisy-syar'i (para penuntut ilmu syar'i). Sedangkan untuk kaum muslimin kebanyakan yang awam, maka batas kemampuan mereka hanyalah ber-taqlid (mengikuti tanpa tahu dalil) saja pada para imam terpercaya atau ulama yang diakui kredibelitas dan kapabelitasnya. Yang penting dalam ber-taqlid pada siapa saja yang dipilih, mereka melakukannya dengan tulus dan ikhlas, serta tidak berdasarkan hawa nafsu.
6. Untuk praktek pribadi, dan dalam masalah-masalah yang bisa bersifat personal individual, maka masing-masing berhak untuk mengikuti dan memgamalkan pendapat atau madzhab yang rajih (yang kuat) menurut pilihannya. Meskipun dalam beberapa hal dan kondisi sangat afdhal pula jika ia memilih sikap yang lebih berhati-hati (ihtiyath) dalam rangka menghindari ikhtilaf (sesuai dengan kaidah "al-khuruj minal khilaf mustahabb" – keluar dari wilayah khilaf adalah sangat dianjurkan).
7. Sementara itu terhadap orang lain atau dalam hal-hal yang terkait dengan kemaslahatan umum, sangat diutamakan setiap kita memilih sikap melonggarkan dan bertoleransi (tausi'ah & tasamuh). Atau dengan kata lain, jika kaidah dan sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat personal individual, adalah melaksanakan yang rajih menurut pilihan masing-masing kita. Maka kaidah dan sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat kebersamaan, kemasyarakatan, kejamaahan dan keummatan, adalah dengan mengedepankan sikap toleransi dan kompromi, termasuk sampai pada tahap kesiapan untuk mengikuti dan melaksanakan pendapat atau madzhab lain yang marjuh (yang lemah) sekalipun menurut kita.
8. Menghindari sikap ghuluw (berlebih-lebihan) atau tatharruf (ekstrem), misalnya dengan memiliki sikapmutlak-mutlakan atau menang-menangan dalam masalah-masalah furu' khilafiyah ijtihadiyah. Karena itu adalah sikap yang tidak logis, tidak islami, tidak syar'i dan tentu sekaligus tidak salafi (tidak sesuai dengan manhaj dan sikap para ulama salaf)!
9. Tetap mengutamakan dan mengedepankan masalah-masalah prinsip yang telah disepakati atas masalah-masalah furu' yang diperselisihkan. Atau dengan kata lain, kita wajib selalu mengutamakan dan mendahulukan masalah-masalah ijma' atas masalah-masalah khilafiyah.
10. Tidak menerapkan prinsip atau kaidah wala' dan bara' dalam bersikap terhadap fenomena ikhtilaf dalam masalah-masalah furu' ijtihadiyah. Karena bab wala' dan bara' bukanlah di sini tempatnya, melainkan di dalam masalah-masalah aqidah, tauhid dan keimanan, atau dalam masalah-masalah ushul (prinsip) pada umumnya.
11. Menjadikan masalah-masalah ushul (prinsip) yang disepakati (masalah-masalah ijma') – dan bukan masalah-masalah furu' ijtihadiyah (masalah-masalah khilafiyah) – sebagai standar dan parameter komitmen dan keistiqamahan seorang muslim. Jadi tidak dibenarkan misalnya kita menilai seseorang itu istiqamah atau tidak dan komit atau tidak, berdasarkan standar masalah-masalah khilafiyah. Sehingga misalnya akan dinilai istiqamah dan komit jika ia mengikuti madzhab atau pendapat tertentu, sementara akan dinilai tidak istiqamah dan tidak komit jika menganut madzhab atau pendapat yang lain. Begitu pula misalnya akan dinilai istiqamah dan komit jika ia selalu berpegang teguh melaksanakan pendapat dan madzhab pilihannya serta tidak mau berubah sama sekali dalam kondisi apapaun. Sedangkan jika ia dalam kondisi-kondisi tertentu bertoleransi dan berkompromi dengan pendapat dan madzhab lain, maka akan dinilai sebagai orang plin-plan, tidak berpendirian, dan tidak istiqamah (?). Tidak. Itu semua tidak benar. Bahkan yang benar adalah bahwa, siapapun yang menjalankan ajaran Islam sesuai standar batasan prinsip, maka ia adalah orang Islam yang istiqamah dan komit, apapun madzhab atau pendapat di antara madzhab-madzhab atau pendapat-pendapat ulama mu'tabar, yang diikuti dan dianutnya. Dan demikian pula sikap bertoleransi dan berkompromi sesuai kaidah dalam masalah-masalah khilafiyah ijtihadiyah adalah merupakan bagian dari bentuk dan bukti komitmen dan keistiqamahan itu sendiri!
12. Menjaga agar ikhtilaf (perbedaan) dalam masalah-masalah furu' ijtihadiyah tetap berada di wilayah wacana pemikiran dan wawasan keilmuan, dan tidak masuk ke wilayah hati, sehingga berubah mejadi perselisihan perpecahan (ikhtilafut- tafarruq), yang akan merusak ukhuwah dan melemahkan tsiqoh (rasa kepercayaan) di antara sesama kaum mukminin.
13. Menyikapi orang lain, kelompok lain atau penganut nadzhab lain sesuai kaidah berikut ini: Perlakukan dan sikapilah orang lain, kelompok lain dan penganut madzhab lain sebagaimana engkau, kelompok dan madzhabmu ingin diperlakukan dan disikapi! Serta janganlah memperlakukan dan menyikapi orang lain, kelompok lain dan pengikut madzhab lain dengan perlakuan dan penyikapan yang tidak engkau inginkan dan tidak engkau sukai untuk dirimu, kelompokmu atau madzhabmu!

1 komentar: